Esensi Ajaran Islam

Senin, 24 Maret 2008

Rasulullah saw menyempurnakan akhlak

Nabi Musa a.s. amat sabar dan lembut hati kepada Bani Israil dibanding nabi-nabi mereka lainnya. Tidak juga Isa a.s. atau nabi lain bangsa Israil yang bisa mencapai kedudukan tinggi dari nabi Musa a.s. Kitab Taurat mengungkapkan bahwa nabi Musa a.s. lebih baik dan lebih agung dari semua nabi bangsa Israil dalam hal kebaikan hati, kelembutan dan nilai-nilai akhlak yang tinggi. Sebagai contoh, Taurat menyatakan: “Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia di atas muka bumi”. (Bilangan 12:3).
Allah s.w.t. dalam Taurat memuji kelembutan hati nabi Musa a.s. dengan kata-kata yang tidak pernah digunakan-Nya terhadap nabi-nabi Israil lainnya. Namun harus diakui bahwa nilai-nilai akhlak yang agung dari Nabi Suci s.a.w. sebagaimana dikemukakan dalam Al-Qur’an adalah seribu kali lebih tinggi dari nabi Musa a.s. Allah s.w.t. mengenai diri Nabi Suci s.a.w. menyatakan bahwa dalam diri beliau terkumpul semua akhlak mulia yang tersebar di antara para nabi dan menyatakan mengenai beliau:
“Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak luhur”. (S.68 Al-Qalam:5).


Kata “azhiim”. yang digunakan dalam ayat ini menggambarkan istilah bahasa Arab yang mengandung arti kesempurnaan tertinggi dari suatu spesi makhluk. Sebagai contoh, kalau dikatakan sebuah pohon itu “azhiim”. maka yang dimaksud adalah pohon itu memiliki panjang dan lebar terbaik yang bisa dimiliki sebuah pohon. Berarti semua akhlak mulia dan fitrat baik yang mungkin dimiliki seorang manusia, semuanya ada pada wujud Hadzrat Rasulullah s.a.w. Dengan demikian hal ini merupakan pujian yang tertinggi. Hal ini juga diindikasikan dalam ayat lain:
“Karunia Allah atas engkau sangat besar”. (S.4 An-Nisa:114)
yang berarti bahwa Tuhan telah menganugerahkan rahmat-Nya atas diri beliau dalam takaran yang tertinggi dan tidak ada Nabi lain yang bisa sepadan derajatnya dengan beliau. Pujian ini juga dikemukakan dalam Mazmur dalam Kitab Perjanjian Lama yang merupakan nubuatan berkaitan dengan kedatangan Hadzrat Rasulullah s.a.w. yang berbunyi: “Sebab itu Allah, Allahmu telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu”. (Mazmur 45:7). (Barahin Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 605-606, London, 1984).
* * *

Selengkapnya.....

Nabi palsu tidak akan mendapat kelonggaran

Nabi palsu tidak akan mendapat kelonggaran

Sudah merupakan kaidah Ilahi bahwa Tuhan tidak akan memberikan kelonggaran atau peluang kepada seorang nabi palsu. Orang seperti itu akan langsung dicengkeram dan dihukum. Berkaitan dengan itu maka kita patut menghormati dan menerima sebagai suatu kebenaran semua mereka yang pernah menyatakan diri sebagai Nabi pada masa apa pun, yang pengakuannya telah diteguhkan dan agamanya telah berkembang meluas dalam jangka waktu panjang. Misalnya pun kita menemukan kesalahan dalam kitab suci atau agama mereka, atau juga kelakuan yang salah di antara para penganutnya, jangan sampai kita menimpakan kesalahan tersebut di pundak para pendiri agama-agama tersebut. Pelencengan isi kitab suci bisa saja terjadi, begitu pula munculnya kesalahan penafsiran, tetapi tidak mungkin terdapat orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah s.w.t. dengan mengaku sebagai seorang Nabi, menyatakan ucapan karangannya sendiri sebagai firman Tuhan tetapi Dia tetap memberikan peluang atau kelonggaran kepadanya sebagai seorang muttaqi dan mengaruniakan kepadanya berkat berupa penerimaan dari orang banyak. (Tohfah Qaisariyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 12, hal. 258).


* * *
Mungkinkah kepada seorang pendusta diberikan peluang untuk menyebar-luaskan kedustaannya sebagaimana Allah s.w.t. menganugrahkan kepada para penerima wahyu hakiki? Tidakkah Tuhan telah menyatakan bahwa mereka yang berdusta mengaku telah menerima wahyu dan para pendusta akan dicengkeram oleh-Nya? Kitab Taurat menyatakan kalau nabi palsu akan terbunuh dan Injil pun mengemukakan bahwa seorang pendusta akan segera dipunahkan dan pengikutnya bertemprasan dikocar-kacirkan.

Apakah ada satu saja contoh bahwa seorang pendusta yang mengaku sebagai penerima wahyu yang diberikan peluang sepanjang jangka waktu yang telah diberikan kepadaku sejak pernyataan yang aku ajukan bahwa aku adalah seorang yang menerima wahyu Ilahi? Jika memang ada, silakan ajukan.


Aku menyatakan dengan sesungguhnya bahwa sejak dunia terkembang belum pernah ada kejadian demikian. Aku tidak ada mengatakan bahwa seorang penyembah berhala, atheis atau seorang yang mengaku sebagai tuhan, tidak akan berumur panjang, karena kesalahan-kesalahan seperti itu baru akan dihisab nanti di akhirat. Yang aku nyatakan disini adalah mereka yang berdusta mengaku sebagai penerima wahyu Ilahi, mereka inilah yang akan dicengkeram dan umurnya akan pendek. Kitab Taurat, Injil mau pun Al-Qur’an membenarkan hal itu, sebagaimana halnya juga penalaran. Lawan yang mana pun tak mungkin bisa mengemukakan contoh meski satu yang bertentangan dengan sejarah. (Ayyamus Sulh, Qadian, Ziaul Islam Press, 1899; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 14, hal. 267-268, London, 1984).

Selengkapnya.....

Kamis, 13 Maret 2008

Kemajuan Progresif Karena Menganut Islam

Ketika aku merenungi keseluruhan firman Allah s.w.t., aku menemukan bahwa ajaran-ajarannya itu berusaha memperbaiki kondisi alamiah manusia dan mengangkatnya selangkah demi selangkah ke tingkat keruhanian yang lebih tinggi. Pada tahap awal, Allah s.w.t. bermaksud mengajar manusia ketentuan-ketentuan yang bisa disebut dasar, melalui mana merubah kondisinya dari taraf binatang liar ke derajat akhlak tingkat rendah yang bisa dikatakan sebagai kebudayaan atau tamadhun.

Kemudian Dia melatih dan mengangkat manusia dari tingkat akhlak yang mendasar ke tingkatan akhlak yang lebih tinggi. Sebenarnya perubahan kondisi alamiah demikian semua itu adalah satu kegiatan, hanya saja terdiri dari beberapa tingkatan. Allah yang Maha Bijaksana telah memberikan sistem akhlak yang sedemikian rupa sehingga manusia bisa merambat dari tingkat akhlak yang mendasar ke tingkatan yang lebih tinggi. Tingkat ketiga dari perkembangan demikian itu adalah manusia berupaya memperoleh kecintaan dan keridhoan Pencipta-nya dimana keseluruhan wujud dirinya diabdikan kepada Allah s.w.t. Pada tingkat inilah keimanan para Muslim disebut sebagai Islam yang bermakna penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t. tanpa ada yang tersisa. (Islami Usulki Philosophy, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 10, hal. 324, London, 1984).
* * *




Selengkapnya.....

Perlunya Agama Islam

Adalah bodoh untuk membayangkan bahwa beberapa hal yang dikemukakan dalam kitab Injil sebagai agama. Semua hal yang yang esensial bagi kesempurnaan manusia harus tercakup dalam ruang lingkup suatu agama. Agama harus mencakup semua hal yang menuntun manusia dari kondisi alamiah liarnya kepada kondisi kemanusiaan yang sebenarnya, dan dari sana membawa manusia ke tingkatan hidup yang bijak, setelah itu membawanya lagi kepada kehidupan yang sepenuhnya merupakan pengabdian kepada Allah s.w.t.

(Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 13, hal. 89, London, 1984).
* * *


Tidak ada keraguan bahwa kitab Injil tidak ada memberikan jalan bagi pemeliharaan pohon kemanusiaan. Kita ini turun di bumi dengan berbagai kemampuan dan sifat, dimana setiap kemampuan itu layaknya digunakan pada tempatnya yang tepat. Injil hanya menekankan kepada sifat “rendah hati”. dan “kelembutan.”. Sifat rendah hati dan pengampun memang merupakan sifat yang baik jika digunakan pada saat yang tepat, tetapi jika digunakan pada setiap keadaan maka hal itu akan membawa kerusakan dahsyat. Kehidupan budaya manusia terdiri dari saling pengaruh mempengaruhinya berbagai bentuk tabiat yang menuntut bahwa kita harus menggunakan sifat-sifat kita secara bijak pada saat yang tepat.
Memang benar bahwa pada beberapa keadaan, sifat pengampun dan tabah akan memberikan manfaat material dan spiritual kepada orang yang menyakiti kita. Tetapi pada keadaan lain, penggunaan sifat tersebut hanya akan menggalakkan si pendosa tersebut untuk melakukan kejahatan yang lebih besar dan menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Kehidupan keruhanian kita dalam banyak hal menyerupai kehidupan phisikal. Berdasarkan pengalaman kita mengetahui bahwa memakan satu jenis makanan atau obat saja sepanjang waktu akan merusak kesehatan kita. Jika kita membatasi diri untuk suatu waktu panjang hanya menyantap makanan yang bersifat dingin dan sama sekali tidak makan sesuatu yang menghangat¬kan maka kita akan mudah terkena beberapa jenis penyakit seperti kelumpuhan, Parkinson atau epilepsi. Sebaliknya kalau kita membatasi diri pada unsur-unsur makanan yang hangat saja, dimana air minum pun harus panas, maka kita juga cenderung akan terkena beberapa jenis penyakit lainnya. Karena itu untuk menjaga kesehatan tubuh, kita harus menjaga keseimbangan di antara panas dan dingin, di antara yang keras dan yang lunak dan antara dinamika gerakan dengan istirahat. Menyangkut kesehatan ruhani, kita juga harus mengikuti ketentuan yang sama. Sesungguhnya tidak ada sifat yang sendirinya secara murni bisa dikatakan buruk. Adalah penyalahgunaan daripada sifat itu yang menjadikannya buruk. Sebagai contoh, sifat iri hati dikatakan buruk, tetapi jika kita menggunakannya untuk tujuan yang baik seperti berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, maka sifat iri demikian menjadi akhlak yang mulia. Begitu juga dengan sifat-sifat akhlak lainnya. Penyalah¬gunaan sifat itu akan menjadikannya merusak, tetapi pemanfaatan¬nya pada saat yang tepat dengan cara yang layak akan menjadikannya bermaslahat. Karena itu merupakan kesalahan untuk memotong cabang-cabang lain dari pohon kemanusiaan dan hanya menekankan pada “pengampunan”. dan “ketabahan”. saja. Karena itulah ajaran tersebut telah gagal dalam tujuannya dan para penguasa di negeri-negeri Kristiani harus menerapkan norma-norma hukum untuk penghukuman mereka yang bersalah. Kitab Injil yang sekarang ini tidak bisa menghasilkan penyempurnaan harkat kemanusiaan. Sebagaimana bintang-bintang mulai memudar dan kemudian menghilang dengan munculnya sang surya, begitu juga halnya dengan Injil dibanding dengan Al-Qur’an. (Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 13, hal. 66-67, London, 1984).
* * *
Telaah atas berbagai agama di dunia mengungkapkan bahwa setiap agama, kecuali Islam, mengandung berbagai kesalahan. Hal ini bukan karena sumbernya adalah salah, tetapi karena setelah turunnya agama Islam, Allah s.w.t. tidak lagi mendukung agama-agama lain sehingga agama-agama itu menjadi seperti taman-taman yang tidak lagi mempunyai tukan kebun untuk merawat, mengairi dan memeliharanya sehingga secara berangsur taman itu jadi melapuk. Pohon-pohon buah mereka jadi meranggas dan mandul, sedangkan semak dan duri merayap meliputi semuanya. Agama-agama itu kehilangan semangat keruhanian yang menjadi dasar dari semua agama, dan tidak ada lagi yang tersisa selain kata-kata usang. Allah s.w.t. tidak membiarkan hal seperti itu terjadi pada agama Islam karena Dia menginginkan agar taman ini harus subur berkembang selamanya. Dia telah mengatur agar di tiap abad ada yang mengurus pengairannya sehingga taman itu tidak menjadi terlantar. Meski pun pada awal setiap abad ketika diutus seorang hamba Allah untuk memperbaiki, orang-orang yang bodoh selalu menentang dan menolak perubahan atas apa pun yang telah menjadi kebiasaan mereka, namun Allah yang Maha Kuasa tetap bersiteguh dengan cara-Nya. Pada akhir zaman ini pun yang merupakan saat pertempuran terakhir di antara petunjuk kebenaran dan kebatilan, di awal abad keempatbelas karena melihat bagaimana umat Islam menjadi tidak perduli dan acuh, Allah s.w.t. kembali menunaikan janji-Nya dan menyiapkan kebangkitan kembali Islam. Hanya saja agama-agama lain tidak pernah disegarkan kembali setelah kedatangan Yang Mulia Rasulullah s.a.w. sehingga agama-agama itu mati jadinya. Tidak ada lagi kehidupan keruhanian dalam agama-agama itu dan kebatilan berakar di tengah mereka seperti halnya debu yang berakumulasi di pakaian yang tidak pernah lagi dicuci. Orang-orang yang tidak mempunyai perhatian atas keruhanian dan tidak terbebas dari noda eksistensi keduniawian, malah membuat agama-agama itu membusuk sehingga sama sekali tidak lagi mirip dengan keadaan pada awal ketika agama tersebut diturunkan. Ambillah sebagai contoh agama Kristen, betapa murninya agama itu pada awalnya. Ajaran yang diberikan Nabi Isa a.s. memang tidak sesempurna ajaran Al-Qur’an karena saat itu belum waktunya manusia menerima wahyu ajaran yang sempurna dan mereka belum cukup kuat untuk menanggungnya, namun ajaran tersebut amat baik dan cocok untuk zamannya. Ajaran itu juga menuntun manusia kepada Tuhan yang sama sebagaimana disuratkan oleh Taurat, hanya saja setelah Nabi Isa a.s., tuhannya umat Kristen menjadi tuhan yang lain yang tidak ada disebut dalam Taurat dan tidak dikenal sama sekali oleh Bani Israil.

Keimanan kepada tuhan yang baru ini telah menjungkir-balikkan sistem Taurat dan semua ajaran yang terkandung di dalamnya karena pelepasan dari dosa dan upaya pencapaian keselamatan haqiqi serta kehidupan yang suci, menjadi kacau balau. Keselamatan dan pelepasan dari dosa sekarang menjadi bergantung pada kepercayaan bahwa Yesus menerima penyaliban sebagai penebusan umat manusia dan bahwa beliau adalah Tuhan itu sendiri. Banyak sekali kaidah-kaidah tetap dari Taurat yang telah diubah dan agama Kristen menjadi begitu berubah sehingga jika misalnya Yesus turun lagi ke dunia maka beliau tidak akan lagi mengenalinya sebagai ajaran yang dibawanya. Ajaib sungguh bahwa manusia yang diperintahkan untuk mentaati Taurat, lalu tiba-tiba mengesampingkan ajaran-ajarannya. Sebagai contoh, meski pun Injil menyatakan bahwa Taurat melarang makan daging babi, namun hal itu sekarang diperkenankan. Begitu juga Injil menyatakan bahwa walaupun Taurat mengharuskan khitan, tetapi sekarang hal itu malah dilarang. Hal-hal seperti ini dan apa yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Isa a.s. malah menjadi bagian dari agama Kristen. Hanya saja, karena memang sudah menjadi bagian dari rencana Allah s.w.t. untuk menegakkan sebuah agama yang universal yang bernama Islam, maka semua kelapukan dari agama Kristen menjadi indikasi dari kemunculan Islam. Begitu juga diketahui bahwa agama Hindu sudah melapuk jauh sebelum kedatangan agama Islam dimana di seluruh bagian India, penyembahan berhala sudah menjadi hal yang umum. Bagian dari pembusukan itu berasal dari aqidah bahwa Tuhan yang sebenarnya tidak tergantung kepada apa pun dalam pelaksanaan sifat-sifat-Nya, dalam pandangan bangsa Arya dianggap amat bergantung kepada yang lainnya dalam penciptaan alam semesta. Aqidah seperti ini melahirkan aqidah salah lainnya yang mengatakan bahwa semua partikel massa dan semua jiwa bersifat abadi dan ada berwujud tanpa diciptakan. Kalau saja mereka mempelajari secara mendalam sifat-sifat Tuhan, maka mereka tidak akan mungkin mengatakan hal demikian. Jika dalam pelaksanaan sifat-sifat abadi-Nya dalam kegiatan penciptaan ternyata Tuhan harus bergantung kepada yang lain seperti halnya manusia, lalu bagaimana mungkin Dia dalam sifat mendengar dan melihat menjadi tidak terlalu bergantung sebagaimana halnya manusia. Manusia tidak bisa mendengar tanpa perantaraan udara dan tidak bisa melihat tanpa bantuan cahaya. Apakah Tuhan juga bergantung pada cahaya dan udara untuk melihat dan mendengar? Jika Dia tidak bergantung demikian maka yakinlah bahwa Dia itu tidak bergantung kepada apa pun dalam melaksanakan sifat-sifat-Nya ketika kegiatan penciptaan.

Adalah salah sama sekali menyangka bahwa Dia bergantung kepada yang lain dalam pelaksanaan atribut-atribut-Nya. Adalah salah sama sekali melekatkan atribut kelemahan manusia kepada Tuhan, seperti dikatakan bahwa Dia tidak mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan sama sekali. Keadaan manusia itu terbatas adanya sedangkan keadaan Tuhan itu tanpa batas. Atas dasar kekuasaan Wujud-Nya, Dia itu bisa saja menciptakan makhluk lainnya. Inilah yang menjadi inti pokok dari konsep ke-Tuhan-an. Dia itu tidak bergantung kepada apa pun dalam pelaksanaan sifat-sifat-Nya karena jika demikian adanya maka Dia bukanlah Tuhan. Tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya. Jika Dia bermaksud menciptakan langit dan bumi secara seketika, maka Dia akan bisa melakukannya. Dari antara umat Hindu yang memiliki selain pengetahuan juga menganut keruhanian serta tidak bergantung kepada logika dasar, mereka ini tidak mengimani Tuhan sebagaimana yang dikemukakan bangsa Arya saat ini. Semua ini adalah akibat dari ketiadaan keruhanian di dalam agama tersebut.
Semua pembusukan agama, beberapa di antaranya bahkan tidak layak disebut dan bertentangan dengan kesucian kemanusiaan, merupakan indikasi perlunya ada agama Islam. Setiap orang yang berpikir pasti mengakui bahwa sejenak sebelum turunnya Islam, agama-agama lain telah membusuk dan kehilangan keruhaniannya. Hadzrat Rasulullah s.a.w. adalah seorang pembaharu akbar dalam bidang kebenaran yang telah mengembalikan kebenaran kepada dunia. Tidak ada Nabi lain yang bisa menyamai beliau dalam kebanggaan bahwa beliau menjumpai dunia ini dalam kegelapan dan dengan turunnya beliau lalu merubah kegelapan menjadi Nur. (Khutbah Sialkot berjudul “Islam,”. Sialkot, Mufid Aam Press, 1904; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 203-206, London, 1984).
* * *


Selengkapnya.....

Perlunya Agama Islam

Adalah bodoh untuk membayangkan bahwa beberapa hal yang dikemukakan dalam kitab Injil sebagai agama. Semua hal yang yang esensial bagi kesempurnaan manusia harus tercakup dalam ruang lingkup suatu agama. Agama harus mencakup semua hal yang menuntun manusia dari kondisi alamiah liarnya kepada kondisi kemanusiaan yang sebenarnya, dan dari sana membawa manusia ke tingkatan hidup yang bijak, setelah itu membawanya lagi kepada kehidupan yang sepenuhnya merupakan pengabdian kepada Allah s.w.t.

(Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 13, hal. 89, London, 1984).
* * *
Tidak ada keraguan bahwa kitab Injil tidak ada memberikan jalan bagi pemeliharaan pohon kemanusiaan. Kita ini turun di bumi dengan berbagai kemampuan dan sifat, dimana setiap kemampuan itu layaknya digunakan pada tempatnya yang tepat. Injil hanya menekankan kepada sifat “rendah hati”. dan “kelembutan.”. Sifat rendah hati dan pengampun memang merupakan sifat yang baik jika digunakan pada saat yang tepat, tetapi jika digunakan pada setiap keadaan maka hal itu akan membawa kerusakan dahsyat. Kehidupan budaya manusia terdiri dari saling pengaruh mempengaruhinya berbagai bentuk tabiat yang menuntut bahwa kita harus menggunakan sifat-sifat kita secara bijak pada saat yang tepat.

Memang benar bahwa pada beberapa keadaan, sifat pengampun dan tabah akan memberikan manfaat material dan spiritual kepada orang yang menyakiti kita. Tetapi pada keadaan lain, penggunaan sifat tersebut hanya akan menggalakkan si pendosa tersebut untuk melakukan kejahatan yang lebih besar dan menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Kehidupan keruhanian kita dalam banyak hal menyerupai kehidupan phisikal. Berdasarkan pengalaman kita mengetahui bahwa memakan satu jenis makanan atau obat saja sepanjang waktu akan merusak kesehatan kita. Jika kita membatasi diri untuk suatu waktu panjang hanya menyantap makanan yang bersifat dingin dan sama sekali tidak makan sesuatu yang menghangat¬kan maka kita akan mudah terkena beberapa jenis penyakit seperti kelumpuhan, Parkinson atau epilepsi. Sebaliknya kalau kita membatasi diri pada unsur-unsur makanan yang hangat saja, dimana air minum pun harus panas, maka kita juga cenderung akan terkena beberapa jenis penyakit lainnya. Karena itu untuk menjaga kesehatan tubuh, kita harus menjaga keseimbangan di antara panas dan dingin, di antara yang keras dan yang lunak dan antara dinamika gerakan dengan istirahat. Menyangkut kesehatan ruhani, kita juga harus mengikuti ketentuan yang sama. Sesungguhnya tidak ada sifat yang sendirinya secara murni bisa dikatakan buruk. Adalah penyalahgunaan daripada sifat itu yang menjadikannya buruk. Sebagai contoh, sifat iri hati dikatakan buruk, tetapi jika kita menggunakannya untuk tujuan yang baik seperti berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, maka sifat iri demikian menjadi akhlak yang mulia. Begitu juga dengan sifat-sifat akhlak lainnya. Penyalah¬gunaan sifat itu akan menjadikannya merusak, tetapi pemanfaatan¬nya pada saat yang tepat dengan cara yang layak akan menjadikannya bermaslahat. Karena itu merupakan kesalahan untuk memotong cabang-cabang lain dari pohon kemanusiaan dan hanya menekankan pada “pengampunan”. dan “ketabahan”. saja. Karena itulah ajaran tersebut telah gagal dalam tujuannya dan para penguasa di negeri-negeri Kristiani harus menerapkan norma-norma hukum untuk penghukuman mereka yang bersalah. Kitab Injil yang sekarang ini tidak bisa menghasilkan penyempurnaan harkat kemanusiaan. Sebagaimana bintang-bintang mulai memudar dan kemudian menghilang dengan munculnya sang surya, begitu juga halnya dengan Injil dibanding dengan Al-Qur’an. (Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 13, hal. 66-67, London, 1984).
* * *
Telaah atas berbagai agama di dunia mengungkapkan bahwa setiap agama, kecuali Islam, mengandung berbagai kesalahan. Hal ini bukan karena sumbernya adalah salah, tetapi karena setelah turunnya agama Islam, Allah s.w.t. tidak lagi mendukung agama-agama lain sehingga agama-agama itu menjadi seperti taman-taman yang tidak lagi mempunyai tukan kebun untuk merawat, mengairi dan memeliharanya sehingga secara berangsur taman itu jadi melapuk. Pohon-pohon buah mereka jadi meranggas dan mandul, sedangkan semak dan duri merayap meliputi semuanya. Agama-agama itu kehilangan semangat keruhanian yang menjadi dasar dari semua agama, dan tidak ada lagi yang tersisa selain kata-kata usang. Allah s.w.t. tidak membiarkan hal seperti itu terjadi pada agama Islam karena Dia menginginkan agar taman ini harus subur berkembang selamanya. Dia telah mengatur agar di tiap abad ada yang mengurus pengairannya sehingga taman itu tidak menjadi terlantar. Meski pun pada awal setiap abad ketika diutus seorang hamba Allah untuk memperbaiki, orang-orang yang bodoh selalu menentang dan menolak perubahan atas apa pun yang telah menjadi kebiasaan mereka, namun Allah yang Maha Kuasa tetap bersiteguh dengan cara-Nya. Pada akhir zaman ini pun yang merupakan saat pertempuran terakhir di antara petunjuk kebenaran dan kebatilan, di awal abad keempatbelas karena melihat bagaimana umat Islam menjadi tidak perduli dan acuh, Allah s.w.t. kembali menunaikan janji-Nya dan menyiapkan kebangkitan kembali Islam. Hanya saja agama-agama lain tidak pernah disegarkan kembali setelah kedatangan Yang Mulia Rasulullah s.a.w. sehingga agama-agama itu mati jadinya. Tidak ada lagi kehidupan keruhanian dalam agama-agama itu dan kebatilan berakar di tengah mereka seperti halnya debu yang berakumulasi di pakaian yang tidak pernah lagi dicuci. Orang-orang yang tidak mempunyai perhatian atas keruhanian dan tidak terbebas dari noda eksistensi keduniawian, malah membuat agama-agama itu membusuk sehingga sama sekali tidak lagi mirip dengan keadaan pada awal ketika agama tersebut diturunkan. Ambillah sebagai contoh agama Kristen, betapa murninya agama itu pada awalnya. Ajaran yang diberikan Nabi Isa a.s. memang tidak sesempurna ajaran Al-Qur’an karena saat itu belum waktunya manusia menerima wahyu ajaran yang sempurna dan mereka belum cukup kuat untuk menanggungnya, namun ajaran tersebut amat baik dan cocok untuk zamannya. Ajaran itu juga menuntun manusia kepada Tuhan yang sama sebagaimana disuratkan oleh Taurat, hanya saja setelah Nabi Isa a.s., tuhannya umat Kristen menjadi tuhan yang lain yang tidak ada disebut dalam Taurat dan tidak dikenal sama sekali oleh Bani Israil.

Keimanan kepada tuhan yang baru ini telah menjungkir-balikkan sistem Taurat dan semua ajaran yang terkandung di dalamnya karena pelepasan dari dosa dan upaya pencapaian keselamatan haqiqi serta kehidupan yang suci, menjadi kacau balau. Keselamatan dan pelepasan dari dosa sekarang menjadi bergantung pada kepercayaan bahwa Yesus menerima penyaliban sebagai penebusan umat manusia dan bahwa beliau adalah Tuhan itu sendiri. Banyak sekali kaidah-kaidah tetap dari Taurat yang telah diubah dan agama Kristen menjadi begitu berubah sehingga jika misalnya Yesus turun lagi ke dunia maka beliau tidak akan lagi mengenalinya sebagai ajaran yang dibawanya. Ajaib sungguh bahwa manusia yang diperintahkan untuk mentaati Taurat, lalu tiba-tiba mengesampingkan ajaran-ajarannya. Sebagai contoh, meski pun Injil menyatakan bahwa Taurat melarang makan daging babi, namun hal itu sekarang diperkenankan. Begitu juga Injil menyatakan bahwa walaupun Taurat mengharuskan khitan, tetapi sekarang hal itu malah dilarang. Hal-hal seperti ini dan apa yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Isa a.s. malah menjadi bagian dari agama Kristen. Hanya saja, karena memang sudah menjadi bagian dari rencana Allah s.w.t. untuk menegakkan sebuah agama yang universal yang bernama Islam, maka semua kelapukan dari agama Kristen menjadi indikasi dari kemunculan Islam. Begitu juga diketahui bahwa agama Hindu sudah melapuk jauh sebelum kedatangan agama Islam dimana di seluruh bagian India, penyembahan berhala sudah menjadi hal yang umum. Bagian dari pembusukan itu berasal dari aqidah bahwa Tuhan yang sebenarnya tidak tergantung kepada apa pun dalam pelaksanaan sifat-sifat-Nya, dalam pandangan bangsa Arya dianggap amat bergantung kepada yang lainnya dalam penciptaan alam semesta. Aqidah seperti ini melahirkan aqidah salah lainnya yang mengatakan bahwa semua partikel massa dan semua jiwa bersifat abadi dan ada berwujud tanpa diciptakan. Kalau saja mereka mempelajari secara mendalam sifat-sifat Tuhan, maka mereka tidak akan mungkin mengatakan hal demikian. Jika dalam pelaksanaan sifat-sifat abadi-Nya dalam kegiatan penciptaan ternyata Tuhan harus bergantung kepada yang lain seperti halnya manusia, lalu bagaimana mungkin Dia dalam sifat mendengar dan melihat menjadi tidak terlalu bergantung sebagaimana halnya manusia. Manusia tidak bisa mendengar tanpa perantaraan udara dan tidak bisa melihat tanpa bantuan cahaya. Apakah Tuhan juga bergantung pada cahaya dan udara untuk melihat dan mendengar? Jika Dia tidak bergantung demikian maka yakinlah bahwa Dia itu tidak bergantung kepada apa pun dalam melaksanakan sifat-sifat-Nya ketika kegiatan penciptaan.

Adalah salah sama sekali menyangka bahwa Dia bergantung kepada yang lain dalam pelaksanaan atribut-atribut-Nya. Adalah salah sama sekali melekatkan atribut kelemahan manusia kepada Tuhan, seperti dikatakan bahwa Dia tidak mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan sama sekali. Keadaan manusia itu terbatas adanya sedangkan keadaan Tuhan itu tanpa batas. Atas dasar kekuasaan Wujud-Nya, Dia itu bisa saja menciptakan makhluk lainnya. Inilah yang menjadi inti pokok dari konsep ke-Tuhan-an. Dia itu tidak bergantung kepada apa pun dalam pelaksanaan sifat-sifat-Nya karena jika demikian adanya maka Dia bukanlah Tuhan. Tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya. Jika Dia bermaksud menciptakan langit dan bumi secara seketika, maka Dia akan bisa melakukannya. Dari antara umat Hindu yang memiliki selain pengetahuan juga menganut keruhanian serta tidak bergantung kepada logika dasar, mereka ini tidak mengimani Tuhan sebagaimana yang dikemukakan bangsa Arya saat ini. Semua ini adalah akibat dari ketiadaan keruhanian di dalam agama tersebut.
Semua pembusukan agama, beberapa di antaranya bahkan tidak layak disebut dan bertentangan dengan kesucian kemanusiaan, merupakan indikasi perlunya ada agama Islam. Setiap orang yang berpikir pasti mengakui bahwa sejenak sebelum turunnya Islam, agama-agama lain telah membusuk dan kehilangan keruhaniannya. Hadzrat Rasulullah s.a.w. adalah seorang pembaharu akbar dalam bidang kebenaran yang telah mengembalikan kebenaran kepada dunia. Tidak ada Nabi lain yang bisa menyamai beliau dalam kebanggaan bahwa beliau menjumpai dunia ini dalam kegelapan dan dengan turunnya beliau lalu merubah kegelapan menjadi Nur. (Khutbah Sialkot berjudul “Islam,”. Sialkot, Mufid Aam Press, 1904; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 203-206, London, 1984).
* * *


Selengkapnya.....
 




© 2007 Saat Teduh | Design by | Template by :